6c2y5xLulMkOYYgEXrgPjC5Lx3Je6RzEo1m3mFkw

Custom Post Signature

Bookmark

Mengenal Sejarah Penyuntingan

Mengenal Sejarah Penyuntingan-Bundamami

Tak terasa kita sudah menapaki tahun 2024. Berarti baru 6 tahun saya menulis di blog ini. Dan, hampir 15 tahun saya menggeluti bidang literasi atau akrab dikenal dunia kepenulisan. 

Sebenarnya, bidang literasi mulai saya lirik sejak SMA. Saat itu saya sudah menyukai dunia menulis. Berlanjut hingga kuliah dengan aktif di publikasi mingguan Science Club. 

Kemudian tepatnya di tahun 2009, saya baru mulai benar-benar terjun di dunia kepenulisan. Bekerja sebagai editor atau penyunting, sebenarnya bukan pekerjaan ideal bagi saya, terutama jika ditilik dari background pendidikan saya. Namun, pekerjaan ini saya pilih karena kecintaan saya akan buku dan dunia kepenulisan. Jadi, saya anggap di sinilah passion saya. 

Saya penasaran, seberapa penting tugas editor dalam sebuah penerbit? Apa saja proses penyuntingan yang harus dilalui sebuah calon buku untuk bisa terbit dan sampai di tangan pembaca? Dan masih banyak lagi pertanyaan berputar di benak saya. 

Saat itulah saya memutuskan untuk menerima tantangan sebagai editor buku kesehatan di Penerbit. Saya memilih tema buku kesehatan karena sesuai dengan background pendidikan saya, yakni ilmu kesehatan. Jadi, sebenarnya apa sih penyuntingan itu? Sebelum membahas penyuntingan, ada baiknya kita bahas dulu sejarah awal mula adanya aktivitas penyuntingan. Baca sampai selesai, ya. 


Sejarah Penyuntingan

Sejarah penyuntingan tentunya bermula sejak adanya penerbitan. Kalau enggak mau diterbitkan, lalu untuk apa capek-capek disunting begitu kan logikanya, ya. Jadi, awal mula adanya penerbitan adalah proses pencetakan manuskrip untuk disebarluaskan. Proses penerbitan atau lebih tepatnya pencetakan ini dimulai sejak manusia menemukan cara memproduksi tulisan secara massal, yakni pada abad ke-15 ketika Gutenberg menemukan mesin cetak pertama kali.


Sejarah Penemuan Mesin Cetak

Berawal pada tahun 1438 di Strasbourg, Perancis. Seorang pengrajin logam bernama Johannes Gutenberg melakukan eksperimen untuk menyalin manuskrip lebih cepat dengan teknik pencetakan menggunakan balok kayu. Namun, cara ini dinilai terlalu lambat. Gutenberg harus mengerjakan pola pencetakan di balok kayu dengan sangat hati-hati sehingga butuh waktu lama. Selain itu, hasil pencetakan balok kayu ini hanya untuk 1 halaman manuskrip saja. Sementara manuskrip yang harus disalin sangat banyak. 

Gutenberg tidak menyerah begitu saja. Ia terus melakukan eksperimen dengan bahan baku lain. Akhirnya Gutenberg mencoba membuat mesin pencetak dari campuran logam, yaitu timbal, timah, dan animon. Ternyata, ide pencetakan dengan campuran logam ini dinilai lebih efektif daripada pencetakan dengan balok kayu. 

Kemudian pada 1448, Johannes Gutenberg pulang ke kampung halamannya di Mainz, Jerman. Di kota kelahirannya inilah Gutenberg menyelesaikan rangkaian eksperimen demi eksperimen, hingga 2 tahun kemudian mesin cetak bergerak (moveable type) pertama hasil karyanya mulai beroperasi di tahun 1450. 

Meski mesin cetak karya Gutenberg ini cukup kecil, tetapi mampu menyalin manuskrip dengan cepat dan dalam jumlah besar untuk disebar di seluruh Eropa saat itu. Selain itu, Gutenberg juga menjadi penemu tinta cetak berbasis minyak yang lebih tahan lama dibanding tinta cetak sebelumnya yang berbasis air. 


Sejarah Penerbitan di Indonesia

Sejarah penerbitan di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah berabad yang lalu dilakukan oleh bangsa Belanda dan keturunan Tionghoa. Namun, penerbitan yang khusus diinisiasi oleh orang pribumi asli Indonesia, dimulai sejak berdirinya Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada 15 Agustus 1908 di Batavia. 

Komisi Bacaan Rakyat Cikal Bakal Balai Poestaka
D.A. Rinkes dan anggota Komisi Bacaan Rakyat, cikal bakal berdirinya Balai Poestaka.

Komisi ini berfungsi sebagai penasihat bagi Direktur Pendidikan dan Keagamaan di zaman itu, untuk menyeleksi bacaan di sekolah dan bacaan rakyat secara umum. Komisi Bacaan Rakyat ini baru benar-benar aktif dan berfungsi luas pada tahun 1910, di bawah kepemimpinan D.A. Rinkes, dengan menerbitkan bacaan untuk rakyat sebanyak 598 judul buku. 

Untuk menyebarkan buku-buku tersebut ke masyarakat luas, maka Komisi Bacaan Rakyat membangun perpustakaan yang bertajuk "Taman Poestaka" pada 13 Oktober 1910. Selain itu, Komisi Bacaan Rakyat juga menjual buku-buku tersebut melalui toko buku berjalan, berupa truk-truk kecil yang dikelola Depot van Leermiddelen. Truk-truk penjual buku ini tersebar hingga pelosok desa di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hingga tahun 1930, Taman Poestaka telah berdiri di 2.528 titik area dengan melayani peminjaman hingga 2,7 juta buku. 

Para agen penjual buku terbitan Balai Poestaka
Para agen penjual buku-buku terbitan Balai Poestaka.

Setelah 9 tahun dibentuk, tepatnya pada 22 September 1917, tugas dan fungsi Komisi Bacaan Rakyat dialihkan ke lembaga baru, yakni Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat). Inilah bibit terbentuknya Penerbit Balai Poestaka dan tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahir Balai Poestaka.


Balai Poestaka

Kantor Bacaan Rakyat ini bertugas untuk menyeleksi secara ketat bacaan untuk masyarakat di zaman itu. Seleksi ini tentunya membutuhkan aktivitas penyuntingan dalam prosesnya. Jadi, dapat kita lihat bahwa seluruh buku hasil terbitan Balai Poestaka memiliki gaya selingkung tersendiri yang cukup ketat dan seragam. 

Editor dan Staf Balai Pustaka di awal Pendirian
Para editor dan staf Balai Poestaka di masa awal pendiriannya.

Dalam proses seleksi dan penyuntingan tersebut, Balai Poestaka memiliki seorang staf ahli bahasa Melayu berkebangsaan Belanda, yaitu Charles Adriaan van Ophuijsen. Beliaulah yang menyusun pedoman ejaan bahasa Melayu pertama di Indonesia. Kemudian pedoman tersebut dikenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen. Pedoman ejaan tersebut memuat bahasa Melayu dengan kategori tinggi. Hal ini membuat buku-buku terbitan Balai Poestaka telah melalui proses penyuntingan dan seleksi yang sangat ketat. 

Balai Poestaka di tahun pertama pendiriannya, telah menerbitkan buku dalam bahasa Melayu sebanyak 31 buku, bahasa Jawa dengan tulisan latin dan arab sebanyak 101 buku, buku berbahasa Sunda sebanyak 67 buku, buku berbahasa Madura 22 buku, buku berbahasa Batak 4 buku, dan buku berbahasa Aceh, Bugis, dan Makassar masing-masing 1 buku. Tema yang diangkat dalam buku-buku terbitan Balai Poestaka seputar pertanian, kesenian, teknik, keterampilan, dan kesehatan. 

Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942, Balai Poestaka berubah nama menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku, yang artinya Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Militer Jepang. Balai Poestaka pada periode pendudukan Jepang ini berperan penting dalam proses transformasi, yakni penerjemahan bahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia. 

Pada masa Agresi Militer I, sebagian besar karyawan Balai Poestaka mogok dan meninggalkan kantor Balai Poestaka. Hal ini karena mereka tidak mau bekerja sama dengan pihak Belanda. Di tahun 1947 itu, pedoman Ejaan Suwandi mulai berlaku dan penulisan nama Balai Poestaka berubah menjadi Balai Pustaka. 


Penutup

Itulah sejarah singkat adanya penyuntingan. Para tokoh pribumi yang menjadi staf redaktur Balai Pustaka sejak didirikan hingga zaman kemerdekaan inilah yang dianggap sebagai founding father dalam konsep ilmu penyuntingan di Indonesia. 

Konsep dan proses penyuntingan tak lepas dari pedoman ejaan. Penggunaan pedoman ejaan ini terus berkembang dan selalu update hingga sekarang. Hal ini dapat kita amati dari KBBI hingga PUEBI atau EYD yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud. 

Setelah tahu sejarah penyuntingan, di tulisan selanjutnya, kita akan belajar tentang apa dan bagaimana proses penyuntingan itu. Stay tuned di sini ya... Thank you for reading. 


Referensi:

1. Trim, Bambang. (2022). Taktis Menyunting. Cimahi: Penulis Pro Indonesia. 
2. https://rinkes.nl/genealogie/douwe-adolf-rinkes/balai-poestaka/
3. https://balaipustaka.co.id/
19

19 comments

Silakan tinggalkan jejak melalui komentar di sini yaaa.
Terima kasih sudah mampir di Bundamami Story.
  • Fera Marentika
    Fera Marentika
    April 15, 2024 3:23 AM
    wah ulasannya lengkap juga, penuh wawasan mengenai penyuntingan. jadi belajar secara ga langsung deh ini dari tulisan blog nya :D mantab!
    Reply
  • lendyagassi
    lendyagassi
    March 29, 2024 2:23 AM
    Kudu teliti gitu yaa.. ka kalau sedang melakukan proses penyuntingan.
    Dan aku jadi nambah ilmu mengenai sejarah penyuntingan dan siapa yang pertama kali di INdonesia melakukan penyuntingan. Proses panjang dan yang paling penting ketika sebuah buku akan dinikmati banyak orang.
    Reply
  • Irra Octaviany
    Irra Octaviany
    March 29, 2024 12:32 AM
    Aku jadi banyak belajar nih tentang sejarah penyuntingan ini. Jadi banyak tahu juga tentang sejarahnya balai poestaka yang ternyata sudah ada sejak dulu.
    Reply
  • Yonal Regen
    Yonal Regen
    March 28, 2024 10:30 PM
    Ndaging ilmu dan informasi tentang sejarah penyuntingan ini. Melihat gambar-gambarnya serasa kembali ke zaman Indonesia tempo doeloe. Terima kasih Kak untuk tulisan berbobotnya
    Reply
  • atiq - catatanatiqoh
    atiq - catatanatiqoh
    March 28, 2024 10:07 PM
    wah ternyata pencarian seorang penyunting memang gak main-main ya, keren nih infonya :)
    Reply
  • Han
    Han
    March 28, 2024 9:34 PM
    Wahh ternyata balai pustaka itu udah ada sejak zaman kolobendo yaak wkwkw, aku pikir tuh baru2 ini aja pas. sekarang jadi tahu penyuntingan zaman dlu tuh kek gimaanaaa
    Reply
  • Sabrina
    Sabrina
    March 28, 2024 9:15 PM
    Wah mba sudah 15 tahun berkutat dengan dunia kepenulisan, saya masih belajar banyak soal ini. Dan baca artikel ini saya juga jadi tahu banyak soal sejarah penyuntingan, yang selama ini saya belum ketahui bahkan tidak terpikirkan untuk mencari sejarahnya dan baca ini auto takjub ternyata udah ada sejak abad 15 ya
    Reply
  • Triani Retno A
    Triani Retno A
    March 28, 2024 8:41 PM
    Balai Pustaka memang jadi saksi sekaligus pelaku sejarah dalam perkembangan penerbitan di Indonesia. Sayang sekarang kiprahnya seperti kurang terdengar.
    Reply
  • Alley Hardhiani
    Alley Hardhiani
    March 28, 2024 8:22 PM
    Wah, ternyata sejarah tentang penyuntingan ini menarik jg nih. Baru tahu loh tentang sejarahnya Balai Pustaka. Dan memang sih, buku-buku terbitan balai pustaka gaya bahasa dan penulisannya pnya ciri khas sendiri.
    Reply
  • Fenni Bungsu
    Fenni Bungsu
    March 28, 2024 6:59 PM
    perkembangan balai pustaka dan sejarahnya ini, seperti membawa rasa semangat akan perjalanan penyuntingan yang demikian apik. Dari situ kasih inspirasi buat kita, bahwa dalam membuat artikel yuk semangat dalam menyuntingnya sebelum memublikasikannya, ye gak sih hehe
    Reply
  • Deeva Collection
    Deeva Collection
    March 28, 2024 4:14 PM
    Proses penerbitan ternyata memiliki sejarah perjalanan yang sangat panjang. Tidak bisa dibayangkan, andai kala itu tidak ditemukan mesim penerbitan, betapa ribetnya ketikaingin mendapatkan karya
    Reply
  • Bambang Irwanto
    Bambang Irwanto
    March 28, 2024 10:57 AM
    Saya tahu sunting menyunting naskah sejak kecil, Mbak. Jadi kalau dibuku itu kan, ada tulisan disunting Oleh : .... dan memang pekerjaan menyunting naskah ini sangat penting. Tidak hanya memperbaiki tata bahasa dan typo, tapi buku jadi enak dibaca. Dan saya baru tahu sejarah penyuntingan, Mbak. Nambah info lagi saya.
    Reply
  • April Hatni
    April Hatni
    March 28, 2024 10:40 AM
    Wah, super lengkap nih. Ternyata sejarah penyuntingan di Indonesia sudah ada sejak jaman kolinial, ya. Bermanfaat banget nih artikel. Thank you, mbak.
    Reply
  • Lintang
    Lintang
    March 28, 2024 9:27 AM
    Wahh jadi tau sejarah penyuntingan. Ya bener, kalo ngga mau diterbitkan ya ngapain disunting kan ya. Jadi tau juga Kantor Bacaan Rakyat bertugas menyeleksi secara ketat bacaan saat itu.
    Reply
  • hani
    hani
    March 28, 2024 8:49 AM
    Hebat mbak Devi profesinya editor buku. Beberapa kali aku belajar sebagai editor, masih salah-salah aja. Apalagi bagian tanda baca...wkwkwk
    Keren loh bahasa Indonesia, sejak dulu udah ada Badan tersendiri yg mengurusi soal bahasa. Jadi aja Bahasa Indonesia sekarang masuk PBB. Malaysia protes deh...wkwkwk
    Reply
  • Kyndaerim
    Kyndaerim
    March 28, 2024 5:41 AM
    Wah, udah lama banget nulis ya, bund. Menarik mengenal sejarah penyuntingan. Mulai dari terciptanya mesin cetak sampek berdirinya balai poestaka. Makasih juga sama mister Charles, karena berkatnya jadi banyak buku yg diterbitkan dalam berbagai suku bahasa di Indonesia.
    Reply
  • Bunda Saladin
    Bunda Saladin
    March 27, 2024 5:13 PM
    BTW daku juga pernah jadi editor di penerbitan indie. Gak nyangka sepanjang ini sejarah penyuntingan di Indonesia ya. Maju terus dunia literasi Indonesia.
    Reply
  • Dyah Kusuma
    Dyah Kusuma
    March 27, 2024 11:20 AM
    sejarah panjang tentang penyuntingan di Indonesia ya, jadi lebih paham sekarang, sampai saat ini pun sepertinya KBBI juga masih akan berkembang terbukti ada beberapa bahasa gaul yang sudah masuk dalam KBBI
    Reply
  • Didik Purwanto
    Didik Purwanto
    March 27, 2024 11:14 AM
    Tiap hari tuh aku lewat kantor Balai Pustaka di kawasan Senen Jakarta Pusat. Dulu hanya menikmati novel2 besutannya yg hrs dibaca wajib saat masih SMA.

    Ternyata bidang kerja kita mirip ya kak. Dulu aku pernah di media cetak dan online. Mengikuti hati nurani aja meski pendapatan tuh ga seberapa. Tapi hati tuh seneng bgt bs ktmu bnyk org dan berkecimpung dlm dunia penerbitan.

    Ga menyangka jg bs ikut dlm sejarah penerbitan media massa dlm 15 tahun terakhir. Smg industri penerbitan hingga penyuntingan tetap eksis demi memberikan pencerahan kpd masyarakat.
    Reply